Focuskaltim.id, Penajam – Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) memperketat syarat penerbitan akta kematian setelah ditemukan kasus mengejutkan: seorang warga yang telah dinyatakan meninggal dunia dan memiliki akta kematian, ternyata masih hidup dan kembali mengurus dokumen kependudukannya. Peristiwa itu membuat sistem pencatatan kematian di daerah dievaluasi total.
“Sebenarnya persyaratan itu, kalau kita cukup keterangan kematian dari dokter atau dari desa dan kelurahan,”ujar Kepala Disdukcapil PPU, Waluyo, saat menjelaskan proses administratif yang selama ini berjalan.
Namun, menurutnya, fleksibilitas dalam syarat tersebut justru membuka ruang penyalahgunaan. Oleh karena itu, Disdukcapil kini memberlakukan lapisan verifikasi tambahan agar tidak ada lagi kejadian warga “dihidupkan kembali” setelah secara hukum pernah dinyatakan meninggal.
“Memang ada tambahan untuk membuktikan karena kami perketat terkait persyaratan akta kematian,”lanjutnya.
Perketatan ini bukan tanpa sebab. Dalam satu kasus yang sempat viral secara internal, seorang warga datang mengurus surat pindah domisili ke Disdukcapil PPU. Namun dalam sistem, ia tercatat sudah meninggal dunia. Setelah ditelusuri, ternyata akta kematiannya telah diterbitkan berdasarkan keterangan keluarga dan dokumen pendukung yang terlihat valid. Peristiwa ini menyadarkan pihak dinas bahwa sistem perlu perlindungan ekstra dari potensi manipulasi data.
Sebagai langkah pencegahan, Disdukcapil mengeluarkan kebijakan baru berupa kewajiban menyertakan surat pernyataan bermaterai dari pihak keluarga yang mengajukan permohonan akta kematian. Surat ini menjadi bentuk pertanggungjawaban hukum jika di kemudian hari ditemukan data yang tidak sesuai.
“Solusinya, kami membuat aturan baru. Bagi siapapun yang membuat akta kematian, harus ada pernyataan hitam di atas putih dari pihak keluarganya, agar jika terjadi sesuatu bisa bertanggung jawab,” ujar Waluyo.
Kebijakan ini dinilai penting karena akta kematian bukan hanya dokumen administratif biasa. Ia menjadi syarat untuk pengurusan warisan, pembatalan keanggotaan BPJS, pembaruan data keluarga, hingga penghapusan dari daftar pemilih tetap (DPT). Kesalahan atau kebohongan dalam prosesnya dapat menimbulkan konsekuensi hukum dan sosial yang serius.
Dalam kasus warga yang terbukti masih hidup setelah datanya dihapus, Disdukcapil PPU tidak tinggal diam. Waluyo mengatakan bahwa pihaknya segera mengambil langkah untuk mengoreksi data tersebut dengan cara berkirim surat resmi ke pemerintah pusat. Hal ini diperlukan karena sistem kependudukan sudah terintegrasi secara nasional melalui server Direktorat Jenderal Dukcapil Kementerian Dalam Negeri.
“Namun pada akhirnya, kami memproses pengembalian datanya dengan bersurat ke pemerintah pusat karena kami ini selama ini terintegrasi di pusat,” jelasnya.
Permohonan pemulihan data identitas warga itu disetujui setelah melalui proses administrasi dan verifikasi. Kepala Disdukcapil bahkan mengeluarkan surat khusus untuk mengaktifkan kembali Nomor Induk Kependudukan (NIK) warga tersebut agar yang bersangkutan bisa kembali mengakses layanan dasar seperti BPJS, bank, dan perizinan.
“Makanya saya selaku kepala dinas membuat surat pernyataan untuk mengaktifkan kembali NIK dari yang bersangkutan. Sudah dilakukan aktivasi, lalu dia mengurus surat pindah,” ujar Waluyo. (Adv/Diskominfo)