Focuskaltim.id, Balikpapan – Pemerintah Kota (Pemkot) Balikpapan saat ini tengah menyusun Peraturan Daerah kawasan Tanpa Rokok (Ranperda KTR). Salah satu pasal yang dimuat adalah pelarangan total iklan rokok di Balikpapan sekalipun kondisi ini berpotensi memengaruhi pendapatan daerah, khususnya dari sektor pajak iklan rokok. Muhammad Najib, Anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD Kota Balikpapan menyebutkan rancangan peraturan ini menjadi dilema karena ada sektor ekonomi kreatif (iklan dan reklame) yang terdampak.
“Sembari menunggu, Perda KTR yang sebelumnya masih berlaku. Sebelumnya Pemkot mengimbau bahwa semua tiang reklame akan diganti videotron tapi di sisi pelaku usaha, mereka keberatan jika sekalipun diganti videotron tetap tidak bisa memasang iklan produk tembakau. Jadi, belum ketemu jalan tengah yang bisa mengakomodir situasi ini,” sebut Najib saat ditemui akhir pekan lalu.
Di sisi lain, pengamat hukum Universitas Mulawarman, Aryo Subroto mengingatkan baik pihak eksekutif dan legislatif harus dapat memprioritaskan partisipasi publik ataupun kelompok masyarakat terdampak. Secara normatif, partisipasi publik harus dimulai sejak tahapan awal. Ia menegaskan bahwa partisipasi publik yang dilaksanakan bukan sekadar formalitas, tapi harus melibatkan dialog aktif dengan berbagai kelompok terdampak, termasuk pelaku usaha iklan dan masyarakat umum, agar rancangan perda lebih inklusif dan berkeadilan.
“Harus bersifat terbuka dengan mengadakan forum-forum diskusi seperti FGD, forum konsultasi publik, survei opini masyarakat, dan dialog dengan pelaku usaha agar proses penyusunan perda berjalan transparan dan partisipatif. Jadi, tidak sekadar diundang tapi dimintai dan diakomodir pendapatnya tentang regulasi yang disusun,” ujar Aryo.
Partisipasi publik, terutama elemen masyarakat terdampak, bukan hanya dilibatkan dalam membahas subtansi namun juga meliputi aspek formil dan materinya. “Secara regulasi, partisipasi publik telah diatur dalam Undang-Undang 12 Tahun 2011 dan diturunkan dalam di Peraturan Menteri Dalam Negeri No 80 tahun 2025. Di dalamnya juga memuat mekanisme serta alur penyusunan regulasi. Yang dimaksud dengan model partisipasi masyarakat itu adalah pembuat kebijakan mendengar secara langsung keluhan pihak yang terdampak. Ada keterwakilan yang berimbang karena ketika pelibatan itu ditiadakan konsekuensinya signifikan,” sebut Aryo.
Aryo pun menyoroti terkait upaya pelarangan total reklame ataupun iklan rokok yang dinilai bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, baik ke level Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah. Penindakan pelarangan tersebut sejalan dengan lahirnya Surat Edaran Wali Kota Balikpapan tentang Pemberitahuan Penurunan Reklame Rokok pada 4 Desember 2023. Isinya menekankan bahwa Pemerintah Kota Balikpapan tidak lagi menerbitkan izin reklame rokok untuk seluruh wilayah atau ruas jalan umum Kota Balikpapan.
“Surat Edaran harus mencantumkan konsideran, apa dasar dikeluarkannya aturan ini? Kalau dikeluarkan tanpa konsiderannya, maka tidak punya kekuatan hukum. Sifatnya hanya sekedar himbauan saja. Bukan langsung penekanan pada sanksi. Jadi, ketika pelaku usaha memasang iklan rokok dan kemudian ditertibkan oleh Satpol PP sementara landasan Perda KTR-nya belum ada, itu langkah yang tidak tepat. Surat Edaran itu bukan produk hukum itu hanya sebatas produk administrasi dan tidak ada sanksi. Surat edaran juga tidak boleh mencatumkan ancaman,”paparnya.
Dalam penyusunan perda, Aryo menegaskan, pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridisnya haruslah jelas dan mempertimbangkan segala aspek. Keadilan dan keberimbangan segala aspek harus menjadi perhatian utama sehingga kelahiran regulasi ini tidak eksesif dan berpotensi merugikan masyarakat “Jangan sampai melahirkan peraturan yang justru menekan atau regulasi yang larangannya bersifat ekstrem. Harus benar-benar dapat memuat asas keadilan dan keberimbangan. Pernormaan suatu regulasi juga perlu melihat kearifan lokal di masyarakat atau kebiasaan masyarakat,” tambahnya.(*)